Senin, 05 Desember 2016

Tiga Jurus Dalam Berbisnis

oleh Upasaka Salim Lee


Apa sebenarnya yang membedakan antara pedagang sukses dengan yang tidak sukses dan antara pedagang yang sukses dengan yang sangat sukses? Dari kutipan Harvard Business Review dikatakan bahwa yang membedakan orang tersukses di antara yang sukses adalah cara pandang yang tajam dan kebisaan mereka menciptakan kesempatan. Sangat menarik bahwa definisinya menggunakan kata 'menciptakan,' bukannya 'melihat' atau 'bertemu dengan.' Ini menekankan bahwa pebisnis yang sukses adalah mereka yang bisa membuat kesempatan, bukan menemukan kesempatan atau mengalami kesempatan. Kemudian keterangan berikutnya adalah bahwa bagi kebanyakan orang, kesempatan adalah selalu sesuatu yang sudah lewat. Tetapi untuk pebisnis yang sukses, kesempatan itu adalah sekarang. Berapa kali dalam hidup kita, baik untuk urusan usaha ataupun lainnya, kita menyesal, "Ah, seandainya saya tahu." Ini sering terjadi. Ini adalah kesempatan yang tersia-siakan.

Menarik juga jika kita perhatikan orang-orang yang membuka usaha di Indonesia. Mereka jarang sekali menggunakan studi kelayakan, tetapi kebanyakan pokoknya tiru saja. Melihat ada satu orang sukses membuat percetakan, semua orang ikut membuat percetakan. Melihat ada satu orang sukses berjualan HP, semua orang berjualan HP. Mereka menganggap ini adalah bisnis yang bagus. Lalu pertanyaannya, apa yang disebut kesempatan berbisnis yang baik? Seperti apakah itu? Ini nanti akan dijabarkan dan saya yakin pasti berguna.

Mengenai bagaimana orang bisa membuat kesempatan, saya teringat foto di koran sewaktu ada banjir besar di Jakarta. Kebanyakan orang merasa susah tetapi untuk mereka yang bisa membuat drum terapung seperti perahu, "Wah, ini kesempatan yang menghasilkan banyak uang!" Tetapi bagaimana mereka bisa tahu bahwa bisnis yang baik, bisnis yang menguntungkan itu seperti apa? Jika kita punya uang, enaknya bagaimana? Investasi apa yang terbaik? Mana yang lebih aman: menyimpan uang di bank atau membeli properti atau membeli saham? Kira-kira yang mana? Seandainya membeli saham, mana yang lebih baik, saham blue chip yang perusahaannya terkenal dan sudah jadi atau saham gorengan yang bisa naik turun 100-200% sehari? Jawabannya: tidak kedua-duanya. Mengapa? Karena kadang-kadang dengan membeli yang ini belum tentu bisa kaya, membeli yang itu juga begitu. Yang berjangka pendek sering menguntungkan, yang berjangka panjang juga sering menguntungkan. Tak ada jawaban yang pasti.

Atau mau membuat diversifikasi? Misalnya, McDonald mau membuat kopi dengan nama McCoffee karena melihat kesuksesan Starbucks. Di Indonesia, McCoffee juga ada tetapi biasanya tidak begitu laku, yang laku adalah McDonald. Atau kita lihat Sony yang biasa dikenal sebagai pabrik elektronik tetapi justru profit terbesarnya berasal dari film, bukan dari penjualan barang elektronik. Lalu bisnis mana yang menguntungkan? Membuat diversifikasi atau kita konsentrasi pada apa yang kita bisa? Jawabannya tidak kedua-duanya. Karena mereka yang mengembangkan diversifikasi, banyak yang sukses, banyak juga yang bangkrut. Mereka yang tidak mengembangkan diversifikasi, banyak yang bangkrut, banyak juga yang sukses. Misalnya perusahaan Nike bisa saja membbuka bisnis kopi, tetapi apakah akan sukses? Tidak tahu. Lalu bagaimana orang yang sukses ini bisa tahu mana yang menguntungkan dan mana yang tidak?

Nah, ini saya kutip dari George Soros. Kalian tahu George Soros bukan? Dalam satu minggu, dia pernah untung 60 juta poundsterling. Pandainya luar biasa. Dalam bukunya dia mempertanyakan hal ini: "Apa sebenarnya yang bisa membuat keuntungan?" Sebelum George Soros, ada satu grup pemenang Nobel di bidang Ekonomi, Long Term Capital Management, yang bermain valuta asing beberapa juta di Rusia dan akhirnya rugi besar dan hampir membuat dunia bangkrut. Menurut perhitungan mereka - sebagai pemenang Nobel Ekonomi - mereka tidak mungkin salah hitung dan rugi. Tetapi ternyata bisa meleset.

Jadi yang berani bisa kalah, bisa juga menang. Yang tidak berani juga kadang-kadang menang dan kadang-kadang kalah. Nah, ini yang dipertanyakan George Soros. Akhirnya George Soros mengatakan ia tidak tahu bagaimana caranya. Tampaknya tidak ada aturan yang pasti untuk tahu kesempatan bisnis yang menguntungkan. Di Indonesia mungkin juga jelas kelihatan, berapa banyak restoran yang buka dalam sehari dan berapa yang tutup dalam sehari. Kita bisa saja membaca buku mengenai manajemen, ekonomi, dan sebagainya. Satu buku menganjurkan kita harus berani, buku yang lain menganjurkan kita agar bersikap konservatif saja. Satu buku menganjurkan diversifikasi, sedangkan buku lainnya menjelaskan bahwa diversifikasi berbahaya dan merek harus dipertahankan.

Kalau memang benar apa yang dikatakan oleh Yang Suci Dalai Lama bahwa dalam Buddhadharma yang utama adalah pengetahuan (sains), mestinya ada keterampilan/jurus-jurus dan pengertian atau penjelasan mengapa sesuatu itu terjadi. Apa intinya, dan pasti ada sebabnya. Tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa sebab. Jadi orang sukses pasti ada sebabnya.Jurus pertamanya adalah kebisaan untuk tahu bahwa ada kesempatan, mempunyai pengetahuan dan pandangan yang benar-benar tajam (tahu bahwa keberadaan ini bersifat shunya). Jadi yang perlu diketahui adalah sebab dari kesuksesan itu sendiri. Apa sebab kesuksesan? Jurus pertama ini ada hubungannya dengan mengetahui, bahkan bukan sekedar mengetahui, tetapi benar-benar mengetahui, yang disebut dengan prajna (Sansekerta) atau panna (Pali). Arti dari benar-benar mengetahui yaitu tahu persis apa sebabnya orang bisa menghasilkan uang, apa sebabnya orang bisa kaya, sehat, dan bahagia.

Nah, ini bukan berarti bahwa dengan belajar Buddhadharma, kita bisa menjadi dukun atau peramal karena kita tahu sebab orang-orang bisa menjadi kaya, bahagia, dan seterusnya. Pengertian prajna ini sebetulnya lebih sederhana dari apa yang kita bayangkan. Ini dimulai dengan pengertian bahwa pebisnis yang canggih itu melihat bahwa segala sesuatu itu bersifatshunya (tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri).

Ini pengalaman saya sendiri waktu SMA. Saya dibesarkan di lingkungan Katolik dan aktif sebagai pelajar Katolik Loyola di PMV tahun 60-an. Saya ingin mencari uang untuk PMV yang saat itu sedang membutuhkan dana. Saya teringat sewaktu di Yogya saya melihat ada satu warung yang menjual es jus dengan menggunakan blender, nangka sepotong, sedikit gula, dan es. Waktu itu satu gelas es jus dijual Rp 15,-. Padahal saat itu satu buah nangka harganya cuma Rp 20,-. Saya pikir, "Wah, ini bisnis yang menguntungkan!" Saya masih ingat dan saya menghadap kepala sekolah. Namanya Pastur Chang. Saya menghadap beliau karena saya ingin membuka usaha ini untuk anak-anak sekolah. Saya katakan, "Ini murah, sehat, dan keuntungannya untuk PMV." Semakin saya mengebu-gebu, beliau menjawab, "Salim, kalau memang usaha ini menguntungkan, mestinya orang lain sudah kerjakan." Saya bilang, "Pastur, belum tentu begitu, mungkin saya bukan yang pertama, tetapi mungkin di antara yang pertama." Akhirnya saya tetap buka tempat jual es, waktu itu di Semarang, tetapi bukan di sekolah. Saya minta ijin untuk buka di depan rumah orang yang bersebelahan dengan sekolah, di pinggir jalan. Yang berjualan adalah teman-teman saya. Jual es Rp 15,- untungnya besar. Karena untungnya banyak, waktu liburan kita ke Singapura. Saat itu orang-orang belum sering ke Singapura. Tempat jual es kita semakin populer, semakin banyak yang datang. Bahkan tante-tante di sana menitipkan dagangannya: ada yang menitipkan lumpia. Makin lama yang titip semakin banyak. Pertanyaannya adalah bagaimana saya bisa tahu bahwa ada kesempatan untuk berbisnis? Memang benar apa yang dikatakan Pastur Chang: jika memang begitu menguntungkan, semua orang ingin melakukannya. Akhirnya yang punya rumah juga ingin berjualan. Karena waktu itu saya harus ke Australia jadi kita jual ke orang tersebut. Waktu dijual, saya rasa yang menjual es jus di Semarang ada sekitar 200-300 warung. Sedangkan pada waktu buka, kita mungkin yang pertama di Semarang. Jadi bagaimana saya bisa tahu?

Kita sering mengambil kesimpulan yang keliru. Kita menganggap segala sesuatu itu pasti bisa 'dipikirkan.' Ada yang mengatakan, "Ini jika dipikirkan, kita pasti akan tahu. Apapun yang kita pikirkan akhirnya kita pasti bisa tahu jawabannya." Sekarang saya bertanya dan jawablah dengan jujur, "Berapa kali dalam kehidupan kita, dimana keputusan yang kita ambil itu justru tanpa kita pikirkan, tetapi kita tahu begitu saja?" Newton dan Einstein mengatakan bahwa ide-ide brilian mereka muncul bukan karena hasil pikiran, tetapi muncul begitu saja. Jika kita tahu apa yang perlu dilakukan, itu bukan karena hasil pikiran. Mengapa kita bisa tahu? Nah, ini ada hubungannya dengan mengetahui bahwa keberadaan segala sesuatu memang tidak memiliki sifat hakiki atau bersifat shunya. Kebisaan untuk mengetahui inilah yang disebut prajna.

Apa hubungan ini dengan bisnis? Ini kuncinya mengapa pebisnis yang sukses bisa melihat suatu kesempatan sedangkan orang lain mungkin menganggap, "Ah, jika ini memang menguntungkan, semua orang pasti sudah mengerjakannya." Kadang-kadang sukses dianggap identik dengan kerja keras, bahwa kita harus kerja keras untuk bisa sukses, tetapi itu tidak benar juga. Sebagai contoh mereka yang bekerja sangat keras, misalnya bapak petani, kuli di pelabuhan, dll apakah mereka selalu sukses?

Lalu bagaimana caranya agar kita bisa tahu bisnis mana yang menguntungkan? Ini jurus kedua yaitu mengetahui bahwa segala sesuatu itu mempunyai sebab dan akibat. Jika kita ingin melihat sesuatu yang bisa mendatangkan uang banyak, yang perlu dimanipulasi bukanlah luarnya tetapi dari dalam yaitu karma. Cara untuk bisa tahu bisnis mana yang menguntungkan adalah dengan selalu membantu yang lain dan tidak merugikan yang lain. Kunci untuk mendapatkan uang yang banyak bukanlah dengan beli saham yang konservatif atau lainnya, bukan pula dengan membuka restoran atau membuka percetakan tetapi kuncinya adalah mempunyai hati yang bersifat pemurah (baca penjelasan 'Biji Jeruk dan Buah Jeruk').

Jurus ketiga adalah kita harus yakin bahwa sebenarnya kehidupan yang seperti ini, bersifat tidak memuaskan dan kita harus tahu apa yang menyebabkannya. Apapun keadaan kita - sehat, sakit, kaya, terkenal, laki-laki atau perempuan, muda atau tua - kita sering mengalami ketidakpuasan, karena itu jangan mau diombang-ambingkan hidup yang seperti ini. Dikatakan bahwa keberadaan yang seperti ini adalah keliru; keberadaan kita yang sesungguhnya tidak harus seperti ini; keberadaan kita seharusnya bahagia (Sanskerta: sukha). Seandainya sekarang kita tidak dikelabui oleh kesalahpengertian (Sanskerta: avidya) dan tidak teracuni oleh raga dan dvesha, maka apa yang kita alami di sini dan saat ini adalah nirvana. Fakta bahwa jika kita melihat ini sebagai samsara, itu adalah karena kesalahpengertian, yang merupakan lawan dariprajna.

Dalam bisnis, dalam hidup ini, atau apapun, kita harus yakin bahwa hidup ini tidak harus selalu seperti ini - yang penuh kemarahan, ketakutan, kedengkian dan lain-lain. Kebahagiaan dan penderitaan kita berasal dari benih karma (Sanskerta: vasana atau bija) yang kita tanam sebelumnya. Misalnya rasa enak memakan kwetiau goreng bukanlah dari kwetiau gorengnya. Jika memang rasa enak berasal dari kwetiau goreng - maka ketika kita sedang susah, takut, kecewa - kita hanya perlu memakan kwetiau goreng saja supaya kita merasa enak atau bahagia. Tetapi kita tahu, tidaklah demikian bukan? Rasa enak berasal dari benih karma yang kita tanam sebelumnya, yang membentuk kecenderungan kita untuk merasakan demikian.

Jadi yang disebut ahli bisnis sebenarnya adalah orang-orang yang mempunyai karma yang baik - yang dipaksakan oleh karmanya untuk melihat segala sesuatu yang bersifat shunya ini sebagai kesempatan mendapatkan uang.

Tiga Jurus Lain yang Membuat Bisnis Menjadi Sukses

Ada tiga hal lagi yang membuat bisnis menjadi sukses. Yang pertama adalah keharmonisan, yang perlu kita ciptakan baik di kantor, di rumah, maupun dalam bisnis. Apa benih karma untuk melihat adanya keharmonisan? Jika kita ingin ada keharmonisan di rumah, dalam bisnis, di manapun, intinya adalah berbagi, terutama berbagi kekuasaan (power sharing). Ikut sertakan pegawai-pegawai Anda supaya mereka merasa ikut memiliki dan berbagilah kekuasaan. Itulah sebabnya pesta tahunan bersama menjadi luar biasa, dari segi manajemen. Dalam Harvard Business Review, ada artikel yang judulnya menarik, The Effect of Christmas Party. Setelah perusahaan-perusahaan ini mengadakan pesta Natal, orang-orang menjadi lebih kompak dan lebih dekat.
Hal kedua yang penting dalam bisnis adalah kreativitas. Tadi pagi, saya baru tahu ada yang menjual bubur bakar dan soto bakar di Jakarta. Ini artinya mereka kreatif. Kapan muncul kreativitas? Biasanya ketika hati kita senang. Kreativitas dibutuhkan dalam bisnis maupun di rumah - baik dalam mendidik anak, cara kita berhubungan dengan pembantu dan pegawai, dalam hubungan dagang, dan lainnya. Mengapa kita bisa melihat kesempatan atau suatu hal akan menguntungkan? Apa yang perlu dilakukan agar dapat melihat hal seperti itu? Benih yang harus kita tanam adalah bermudita, yaitu ikut senang melihat orang lain sukses terutama dalam bisnis yang sama. Caranya adalah kita ikut mengagumi dan ikut senang melihat orang lain sukses. Biasanya yang kita lakukan justru sebaliknya, seringkali kita berpikir "Wah, punya kita jauh lebih baik dari yang itu!" atau "Wah, itu murah tetapi palsu!"
Orang yang sukses mempunyai cara pandang yang berbeda. Ini bisa kalian cek sendiri diHarvard Business Review, ada buku yang berjudul Good to Great oleh Jim Collins. Di sini dijelaskan lima tingkat kepemimpinan. Mr. Collins mengadakan survei tentang apa yang menjadikan suatu perusahaan yang awalnya biasa saja menjadi perusahaan yang besar. Beliau menyeleksi beberapa ribu perusahaan dengan kriteria bahwa selama 15 tahun berturut-turut perusahaan tersebut harus mempunyai laba yang tinggi dan terus bertahan.
Dari hasil surveinya, ternyata banyak sekali perusahaan yang sebentar muncul, kemudian hilang. Awalnya beliau berpikir bahwa perusahaan yang bisa bertahan lama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan atau industri senjata. Ternyata tidak. Dari hasil surveinya, ternyata perusahaan yang besar mempunyai kesamaan dari segi pemimpinnya. Pemimpinnya mempunyai ciri-ciri khusus yaitu rendah hati dan mempunyai tekad yang kuat/kemauan. Yang menarik dalam buku ini adalah Mr. Collins mengatakan, "...and they have to have the seeds" (... dan mereka harus mempunyai benihnya). Ini ditulis di Harvard Business Review! Tentang karma. Padahal mungkin saja beliau tidak tahu bahwa 'mempunyai benih' sama dengan membicarakan tentang karma. Lebih dari 2500 tahun yang lalu, hal ini sudah dijabarkan oleh makhluk yang tergugah, seorang Buddha, jadi ini bukanlah sesuatu hal yang baru jika ditinjau dari segi manajemen. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalian bisa baca sendiri.

Jadi kunci menjadi kreatif adalah merasa senang melihat orang lain bahagia. Mengapa kita sering merasa susah? Karena kita iri hati, kita tidak senang melihat orang lain sukses. Padahal jika orang lain sukses, itu adalah suksesnya orang tersebut dan tidak merugikan kita. Tetapi kita tidak tahan, dalam hati kita tidak senang dan cemburu. Padahal meskipun kita mengutuk orang tersebut, apakah hal itu akan mempengaruhinya? Ternyata sama sekali tidak. Sebaliknya itu akan mempengaruhi diri kita sendiri. Begitu kelirunya pengertian kita. Sebetulnya iri hati itu sangatlah bodoh. Tetapi kita tak berdaya karena matangnya karma kita seperti itu. Salah satu cara kerja karma adalah matangnya sebagai kecenderungan atau kebiasaan. Misalnya, keinginan untuk selalu berbohong itu juga karma. Jika kita sering berbohong, dan suatu saat ketika disuruh berbicara yang benar, itu akan sulit sekali. Karena itu, kita harus membiasakan diri untuk mengurangi hal-hal negatif mulai dari hal-hal kecil.

Dalam mendidik anak-anak pun, ini pentingnya luar biasa. Sangatlah penting mengajarkan anak-anak untuk bermudita ketika melihat teman-temannya sukses. Ini sulit sekali jika tidak dididik dari kecil. Kita terbiasa dididik, "Kamu harus jadi nomor satu di kelas!" Sehingga anak tersebut terus berpikir 'saya,' 'saya' yang harus lebih didahulukan. Nantinya ketika menjadi orang tua pun, mereka akan susah dan menderita. Selama mereka memikirkan 'saya' dan 'saya'- hanya mementingkan diri sendiri, mereka tidak bisa kreatif. Hal-hal kecil bisa membuat mereka stres, membuat mereka merasa 'saya' tidak cukup, 'saya' tidak bisa apa-apa. Jika kita melihat diri kita sendiri dan kita tidak suka dengan apa yang kita lihat dan kita tidak senang dengan hidup kita, kita merasa kosong dan hampa, dan kita pertanyakan untuk apa hidup ini - kita-kira apa yang menyebabkan kita merasa demikian? Ini karena kita kehabisan benih karma bermudita - benih untuk ikut senang melihat orang lain sukses, ikut bahagia atas kebahagiaan orang lain. Karena itu, tanamlah benih karma bermudita terus-menerus.

Hal ketiga yang penting dalam bisnis adalah kemampuan untuk menghasilkan. Kita menginginkan keuntungan, bukan? Benih karma yang kita perlu tanam adalah memberi; bermurah hati.

Inilah jurus-jurus yang saya gunakan dalam bisnis. Dulu, saya tidak mau mempunyai banyak pegawai. Sekarang, dengan adanya panti werdha, pegawai menjadi cukup banyak. Rasanya benar-benar bahagia karena sekarang tujuannya adalah untuk membuat hidup ini berarti. Tadi pagi saya berkesempatan berbicara dengan seseorang yang sangat bijaksana. Beliau mengatakan, "Jangan terlalu berpikir mengenai hasil. Hasilnya nanti akan persis sama dengan apapun usaha yang kita lakukan. Hasilnya nanti pasti sesuai. Yang penting adalah prosesnya."

Saya setuju dan menambahkan bahwa yang lebih penting lagi adalah motivasi, jadi proses dibarengi dengan motivasi yang benar. Dengan demikian, apapun yang kita lakukan, ke manapun kita pergi, itu tidak akan menjadi masalah. Semua dilandasai motivasi yang sama yaitu kalau bisa bantulah yang lain; kalau tidak bisa bantu yang lain, janganlah merugikan mereka.

Terima kasih.