oleh Upasaka Salim Lee
Apa sebenarnya yang membedakan
antara pedagang sukses dengan yang tidak sukses dan antara pedagang yang
sukses dengan yang sangat sukses? Dari kutipan Harvard Business
Review dikatakan bahwa yang membedakan orang tersukses di antara yang
sukses adalah cara pandang yang tajam dan kebisaan
mereka menciptakan kesempatan. Sangat menarik bahwa definisinya
menggunakan kata 'menciptakan,' bukannya 'melihat' atau 'bertemu dengan.' Ini
menekankan bahwa pebisnis yang sukses adalah mereka yang bisa membuat
kesempatan, bukan menemukan kesempatan atau mengalami kesempatan.
Kemudian keterangan berikutnya adalah bahwa bagi kebanyakan orang, kesempatan
adalah selalu sesuatu yang sudah lewat. Tetapi untuk pebisnis yang sukses,
kesempatan itu adalah sekarang. Berapa kali dalam hidup kita,
baik untuk urusan usaha ataupun lainnya, kita menyesal, "Ah, seandainya
saya tahu." Ini sering terjadi. Ini adalah kesempatan yang
tersia-siakan.
Menarik juga jika kita perhatikan orang-orang
yang membuka usaha di Indonesia. Mereka jarang sekali menggunakan studi
kelayakan, tetapi kebanyakan pokoknya tiru saja. Melihat ada satu orang
sukses membuat percetakan, semua orang ikut membuat percetakan. Melihat ada
satu orang sukses berjualan HP, semua orang berjualan HP. Mereka menganggap
ini adalah bisnis yang bagus. Lalu pertanyaannya, apa yang disebut kesempatan
berbisnis yang baik? Seperti apakah itu? Ini nanti akan dijabarkan dan saya
yakin pasti berguna.
Mengenai bagaimana orang bisa
membuat kesempatan, saya teringat foto di koran sewaktu ada banjir besar di
Jakarta. Kebanyakan orang merasa susah tetapi untuk mereka yang bisa membuat
drum terapung seperti perahu, "Wah, ini kesempatan yang menghasilkan
banyak uang!" Tetapi bagaimana mereka bisa tahu bahwa bisnis yang baik,
bisnis yang menguntungkan itu seperti apa? Jika kita punya uang, enaknya
bagaimana? Investasi apa yang terbaik? Mana yang lebih aman: menyimpan uang
di bank atau membeli properti atau membeli saham? Kira-kira yang mana?
Seandainya membeli saham, mana yang lebih baik, saham blue chip yang
perusahaannya terkenal dan sudah jadi atau saham gorengan yang bisa naik
turun 100-200% sehari? Jawabannya: tidak kedua-duanya. Mengapa? Karena
kadang-kadang dengan membeli yang ini belum tentu bisa kaya, membeli yang itu
juga begitu. Yang berjangka pendek sering menguntungkan, yang berjangka
panjang juga sering menguntungkan. Tak ada jawaban yang pasti.
Atau mau membuat diversifikasi?
Misalnya, McDonald mau membuat kopi dengan nama McCoffee karena melihat
kesuksesan Starbucks. Di Indonesia, McCoffee juga ada tetapi biasanya tidak
begitu laku, yang laku adalah McDonald. Atau kita lihat Sony yang biasa
dikenal sebagai pabrik elektronik tetapi justru profit terbesarnya berasal
dari film, bukan dari penjualan barang elektronik. Lalu bisnis mana yang
menguntungkan? Membuat diversifikasi atau kita konsentrasi pada apa yang kita
bisa? Jawabannya tidak kedua-duanya. Karena mereka yang mengembangkan
diversifikasi, banyak yang sukses, banyak juga yang bangkrut. Mereka yang
tidak mengembangkan diversifikasi, banyak yang bangkrut, banyak juga yang
sukses. Misalnya perusahaan Nike bisa saja membbuka bisnis kopi, tetapi
apakah akan sukses? Tidak tahu. Lalu bagaimana orang yang sukses ini bisa tahu
mana yang menguntungkan dan mana yang tidak?
Nah, ini saya kutip dari George
Soros. Kalian tahu George Soros bukan? Dalam satu minggu, dia pernah untung
60 juta poundsterling. Pandainya luar biasa. Dalam bukunya dia mempertanyakan
hal ini: "Apa sebenarnya yang bisa membuat keuntungan?"
Sebelum George Soros, ada satu grup pemenang Nobel di bidang Ekonomi, Long
Term Capital Management, yang bermain valuta asing beberapa juta di Rusia
dan akhirnya rugi besar dan hampir membuat dunia bangkrut. Menurut perhitungan
mereka - sebagai pemenang Nobel Ekonomi - mereka tidak mungkin salah hitung
dan rugi. Tetapi ternyata bisa meleset.
Jadi yang berani bisa kalah, bisa
juga menang. Yang tidak berani juga kadang-kadang menang dan kadang-kadang
kalah. Nah, ini yang dipertanyakan George Soros. Akhirnya George Soros
mengatakan ia tidak tahu bagaimana caranya. Tampaknya tidak ada
aturan yang pasti untuk tahu kesempatan bisnis yang menguntungkan. Di
Indonesia mungkin juga jelas kelihatan, berapa banyak restoran yang buka dalam
sehari dan berapa yang tutup dalam sehari. Kita bisa saja membaca buku
mengenai manajemen, ekonomi, dan sebagainya. Satu buku menganjurkan kita
harus berani, buku yang lain menganjurkan kita agar bersikap konservatif
saja. Satu buku menganjurkan diversifikasi, sedangkan buku lainnya
menjelaskan bahwa diversifikasi berbahaya dan merek harus dipertahankan.
Kalau memang benar apa yang
dikatakan oleh Yang Suci Dalai Lama bahwa dalam Buddhadharma yang utama
adalah pengetahuan (sains), mestinya ada keterampilan/jurus-jurus dan
pengertian atau penjelasan mengapa sesuatu itu terjadi. Apa intinya, dan
pasti ada sebabnya. Tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa sebab. Jadi orang
sukses pasti ada sebabnya.Jurus pertamanya adalah kebisaan untuk tahu
bahwa ada kesempatan, mempunyai pengetahuan dan pandangan yang benar-benar
tajam (tahu bahwa keberadaan ini bersifat shunya). Jadi yang perlu
diketahui adalah sebab dari kesuksesan itu sendiri. Apa sebab kesuksesan?
Jurus pertama ini ada hubungannya dengan mengetahui, bahkan bukan sekedar
mengetahui, tetapi benar-benar mengetahui, yang disebut dengan
prajna (Sansekerta) atau panna (Pali). Arti dari benar-benar
mengetahui yaitu tahu persis apa sebabnya orang bisa menghasilkan
uang, apa sebabnya orang bisa kaya, sehat, dan bahagia.
Nah, ini bukan berarti bahwa dengan
belajar Buddhadharma, kita bisa menjadi dukun atau peramal karena kita tahu
sebab orang-orang bisa menjadi kaya, bahagia, dan seterusnya.
Pengertian prajna ini sebetulnya lebih sederhana dari apa
yang kita bayangkan. Ini dimulai dengan pengertian bahwa pebisnis yang
canggih itu melihat bahwa segala sesuatu itu bersifatshunya (tidak
memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri).
Ini pengalaman saya sendiri waktu
SMA. Saya dibesarkan di lingkungan Katolik dan aktif sebagai pelajar Katolik
Loyola di PMV tahun 60-an. Saya ingin mencari uang untuk PMV yang saat itu
sedang membutuhkan dana. Saya teringat sewaktu di Yogya saya melihat ada satu
warung yang menjual es jus dengan menggunakan blender, nangka sepotong, sedikit
gula, dan es. Waktu itu satu gelas es jus dijual Rp 15,-. Padahal saat itu
satu buah nangka harganya cuma Rp 20,-. Saya pikir, "Wah, ini bisnis
yang menguntungkan!" Saya masih ingat dan saya menghadap kepala sekolah.
Namanya Pastur Chang. Saya menghadap beliau karena saya ingin membuka usaha
ini untuk anak-anak sekolah. Saya katakan, "Ini murah, sehat, dan
keuntungannya untuk PMV." Semakin saya mengebu-gebu, beliau menjawab,
"Salim, kalau memang usaha ini menguntungkan, mestinya orang lain sudah
kerjakan." Saya bilang, "Pastur, belum tentu begitu, mungkin saya
bukan yang pertama, tetapi mungkin di antara yang pertama." Akhirnya
saya tetap buka tempat jual es, waktu itu di Semarang, tetapi bukan di
sekolah. Saya minta ijin untuk buka di depan rumah orang yang bersebelahan
dengan sekolah, di pinggir jalan. Yang berjualan adalah teman-teman saya.
Jual es Rp 15,- untungnya besar. Karena untungnya banyak, waktu liburan kita
ke Singapura. Saat itu orang-orang belum sering ke Singapura. Tempat jual es
kita semakin populer, semakin banyak yang datang. Bahkan tante-tante di sana
menitipkan dagangannya: ada yang menitipkan lumpia. Makin lama yang titip
semakin banyak. Pertanyaannya adalah bagaimana saya bisa tahu bahwa ada
kesempatan untuk berbisnis? Memang benar apa yang dikatakan Pastur Chang:
jika memang begitu menguntungkan, semua orang ingin melakukannya. Akhirnya
yang punya rumah juga ingin berjualan. Karena waktu itu saya harus ke
Australia jadi kita jual ke orang tersebut. Waktu dijual, saya rasa yang
menjual es jus di Semarang ada sekitar 200-300 warung. Sedangkan pada waktu
buka, kita mungkin yang pertama di Semarang. Jadi bagaimana saya bisa tahu?
Kita sering mengambil kesimpulan
yang keliru. Kita menganggap segala sesuatu itu pasti bisa 'dipikirkan.' Ada
yang mengatakan, "Ini jika dipikirkan, kita pasti akan tahu. Apapun yang
kita pikirkan akhirnya kita pasti bisa tahu jawabannya." Sekarang saya
bertanya dan jawablah dengan jujur, "Berapa kali dalam kehidupan kita,
dimana keputusan yang kita ambil itu justru tanpa kita pikirkan, tetapi kita
tahu begitu saja?" Newton dan Einstein mengatakan bahwa ide-ide brilian
mereka muncul bukan karena hasil pikiran, tetapi muncul begitu saja. Jika
kita tahu apa yang perlu dilakukan, itu bukan karena hasil pikiran. Mengapa kita
bisa tahu? Nah, ini ada hubungannya dengan mengetahui bahwa keberadaan segala
sesuatu memang tidak memiliki sifat hakiki atau bersifat shunya.
Kebisaan untuk mengetahui inilah yang disebut prajna.
Apa hubungan ini dengan bisnis? Ini
kuncinya mengapa pebisnis yang sukses bisa melihat suatu kesempatan sedangkan
orang lain mungkin menganggap, "Ah, jika ini memang menguntungkan, semua
orang pasti sudah mengerjakannya." Kadang-kadang sukses dianggap identik
dengan kerja keras, bahwa kita harus kerja keras untuk bisa sukses, tetapi
itu tidak benar juga. Sebagai contoh mereka yang bekerja sangat keras,
misalnya bapak petani, kuli di pelabuhan, dll apakah mereka selalu sukses?
Lalu bagaimana caranya agar kita
bisa tahu bisnis mana yang menguntungkan? Ini jurus kedua yaitu
mengetahui bahwa segala sesuatu itu mempunyai sebab dan akibat. Jika kita
ingin melihat sesuatu yang bisa mendatangkan uang banyak, yang perlu
dimanipulasi bukanlah luarnya tetapi dari dalam yaitu karma. Cara untuk bisa
tahu bisnis mana yang menguntungkan adalah dengan selalu membantu yang lain
dan tidak merugikan yang lain. Kunci untuk mendapatkan uang yang banyak
bukanlah dengan beli saham yang konservatif atau lainnya, bukan pula dengan
membuka restoran atau membuka percetakan tetapi kuncinya adalah mempunyai
hati yang bersifat pemurah (baca penjelasan 'Biji Jeruk dan Buah Jeruk').
Jurus ketiga adalah kita harus
yakin bahwa sebenarnya kehidupan yang seperti ini, bersifat tidak memuaskan
dan kita harus tahu apa yang menyebabkannya. Apapun keadaan kita - sehat, sakit, kaya,
terkenal, laki-laki atau perempuan, muda atau tua - kita sering mengalami
ketidakpuasan, karena itu jangan mau diombang-ambingkan hidup yang seperti
ini. Dikatakan bahwa keberadaan yang seperti ini adalah keliru; keberadaan
kita yang sesungguhnya tidak harus seperti ini; keberadaan kita seharusnya
bahagia (Sanskerta: sukha). Seandainya sekarang kita tidak
dikelabui oleh kesalahpengertian (Sanskerta: avidya) dan tidak
teracuni oleh raga dan dvesha, maka apa yang kita alami di sini dan saat ini
adalah nirvana. Fakta bahwa jika kita melihat ini sebagai
samsara, itu adalah karena kesalahpengertian, yang merupakan lawan dariprajna.
Dalam bisnis, dalam hidup ini, atau
apapun, kita harus yakin bahwa hidup ini tidak harus selalu seperti ini -
yang penuh kemarahan, ketakutan, kedengkian dan lain-lain. Kebahagiaan dan
penderitaan kita berasal dari benih karma (Sanskerta: vasana atau bija)
yang kita tanam sebelumnya. Misalnya rasa enak memakan kwetiau goreng
bukanlah dari kwetiau gorengnya. Jika memang rasa enak berasal dari kwetiau
goreng - maka ketika kita sedang susah, takut, kecewa - kita hanya perlu
memakan kwetiau goreng saja supaya kita merasa enak atau bahagia. Tetapi kita
tahu, tidaklah demikian bukan? Rasa enak berasal dari benih karma yang kita
tanam sebelumnya, yang membentuk kecenderungan kita untuk merasakan demikian.
Jadi yang disebut ahli bisnis
sebenarnya adalah orang-orang yang mempunyai karma yang baik - yang
dipaksakan oleh karmanya untuk melihat segala sesuatu yang bersifat shunya
ini sebagai kesempatan mendapatkan uang.
Tiga Jurus Lain yang Membuat Bisnis
Menjadi Sukses
Ada tiga hal lagi yang membuat
bisnis menjadi sukses. Yang pertama adalah keharmonisan, yang
perlu kita ciptakan baik di kantor, di rumah, maupun dalam bisnis. Apa benih
karma untuk melihat adanya keharmonisan? Jika kita ingin ada keharmonisan di
rumah, dalam bisnis, di manapun, intinya adalah berbagi, terutama berbagi
kekuasaan (power sharing). Ikut sertakan pegawai-pegawai Anda supaya
mereka merasa ikut memiliki dan berbagilah kekuasaan. Itulah sebabnya pesta
tahunan bersama menjadi luar biasa, dari segi manajemen. Dalam Harvard
Business Review, ada artikel yang judulnya menarik, The Effect of
Christmas Party. Setelah perusahaan-perusahaan ini mengadakan pesta
Natal, orang-orang menjadi lebih kompak dan lebih dekat.
Hal kedua yang penting dalam bisnis
adalah kreativitas. Tadi pagi, saya baru tahu ada yang menjual
bubur bakar dan soto bakar di Jakarta. Ini artinya mereka kreatif. Kapan
muncul kreativitas? Biasanya ketika hati kita senang. Kreativitas dibutuhkan
dalam bisnis maupun di rumah - baik dalam mendidik anak, cara kita
berhubungan dengan pembantu dan pegawai, dalam hubungan dagang, dan lainnya.
Mengapa kita bisa melihat kesempatan atau suatu hal akan menguntungkan? Apa
yang perlu dilakukan agar dapat melihat hal seperti itu? Benih yang harus
kita tanam adalah bermudita, yaitu ikut senang melihat orang lain
sukses terutama dalam bisnis yang sama. Caranya adalah kita ikut mengagumi
dan ikut senang melihat orang lain sukses. Biasanya yang kita lakukan justru
sebaliknya, seringkali kita berpikir "Wah, punya kita jauh lebih baik
dari yang itu!" atau "Wah, itu murah tetapi palsu!"
Orang yang sukses mempunyai cara
pandang yang berbeda. Ini bisa kalian cek sendiri diHarvard Business
Review, ada buku yang berjudul Good to Great oleh Jim
Collins. Di sini dijelaskan lima tingkat kepemimpinan. Mr. Collins mengadakan
survei tentang apa yang menjadikan suatu perusahaan yang awalnya biasa saja
menjadi perusahaan yang besar. Beliau menyeleksi beberapa ribu perusahaan
dengan kriteria bahwa selama 15 tahun berturut-turut perusahaan tersebut
harus mempunyai laba yang tinggi dan terus bertahan.
Dari hasil surveinya, ternyata
banyak sekali perusahaan yang sebentar muncul, kemudian hilang. Awalnya
beliau berpikir bahwa perusahaan yang bisa bertahan lama adalah perusahaan
yang bergerak di bidang industri pangan atau industri senjata. Ternyata
tidak. Dari hasil surveinya, ternyata perusahaan yang besar mempunyai kesamaan
dari segi pemimpinnya. Pemimpinnya mempunyai ciri-ciri khusus yaitu rendah
hati dan mempunyai tekad yang kuat/kemauan. Yang menarik dalam buku ini
adalah Mr. Collins mengatakan, "...and they have to have the
seeds" (... dan mereka harus mempunyai benihnya). Ini ditulis di Harvard
Business Review! Tentang karma. Padahal mungkin saja beliau tidak
tahu bahwa 'mempunyai benih' sama dengan membicarakan tentang karma. Lebih
dari 2500 tahun yang lalu, hal ini sudah dijabarkan oleh makhluk yang
tergugah, seorang Buddha, jadi ini bukanlah sesuatu hal yang baru jika
ditinjau dari segi manajemen. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kalian bisa baca sendiri.
Jadi kunci menjadi kreatif adalah
merasa senang melihat orang lain bahagia. Mengapa kita sering merasa susah?
Karena kita iri hati, kita tidak senang melihat orang lain sukses. Padahal
jika orang lain sukses, itu adalah suksesnya orang tersebut dan tidak
merugikan kita. Tetapi kita tidak tahan, dalam hati kita tidak senang dan
cemburu. Padahal meskipun kita mengutuk orang tersebut, apakah hal itu akan
mempengaruhinya? Ternyata sama sekali tidak. Sebaliknya itu akan mempengaruhi
diri kita sendiri. Begitu kelirunya pengertian kita. Sebetulnya iri hati itu
sangatlah bodoh. Tetapi kita tak berdaya karena matangnya karma kita seperti
itu. Salah satu cara kerja karma adalah matangnya sebagai kecenderungan atau
kebiasaan. Misalnya, keinginan untuk selalu berbohong itu juga karma. Jika
kita sering berbohong, dan suatu saat ketika disuruh berbicara yang benar,
itu akan sulit sekali. Karena itu, kita harus membiasakan diri untuk
mengurangi hal-hal negatif mulai dari hal-hal kecil.
Dalam mendidik anak-anak pun, ini
pentingnya luar biasa. Sangatlah penting mengajarkan anak-anak untuk
bermudita ketika melihat teman-temannya sukses. Ini sulit sekali jika tidak
dididik dari kecil. Kita terbiasa dididik, "Kamu harus jadi nomor satu
di kelas!" Sehingga anak tersebut terus berpikir 'saya,' 'saya' yang
harus lebih didahulukan. Nantinya ketika menjadi orang tua pun, mereka akan
susah dan menderita. Selama mereka memikirkan 'saya' dan 'saya'- hanya
mementingkan diri sendiri, mereka tidak bisa kreatif. Hal-hal kecil bisa
membuat mereka stres, membuat mereka merasa 'saya' tidak cukup, 'saya' tidak
bisa apa-apa. Jika kita melihat diri kita sendiri dan kita tidak suka dengan
apa yang kita lihat dan kita tidak senang dengan hidup kita, kita merasa
kosong dan hampa, dan kita pertanyakan untuk apa hidup ini - kita-kira apa
yang menyebabkan kita merasa demikian? Ini karena kita kehabisan benih karma
bermudita - benih untuk ikut senang melihat orang lain sukses, ikut bahagia
atas kebahagiaan orang lain. Karena itu, tanamlah benih karma bermudita
terus-menerus.
Hal ketiga yang penting dalam
bisnis adalah kemampuan untuk menghasilkan. Kita menginginkan
keuntungan, bukan? Benih karma yang kita perlu tanam adalah memberi; bermurah
hati.
Inilah jurus-jurus yang saya
gunakan dalam bisnis. Dulu, saya tidak mau mempunyai banyak pegawai.
Sekarang, dengan adanya panti werdha, pegawai menjadi cukup banyak. Rasanya
benar-benar bahagia karena sekarang tujuannya adalah untuk membuat hidup ini
berarti. Tadi pagi saya berkesempatan berbicara dengan seseorang yang sangat
bijaksana. Beliau mengatakan, "Jangan terlalu berpikir mengenai hasil.
Hasilnya nanti akan persis sama dengan apapun usaha yang kita lakukan.
Hasilnya nanti pasti sesuai. Yang penting adalah prosesnya."
Saya setuju dan menambahkan bahwa
yang lebih penting lagi adalah motivasi, jadi proses dibarengi dengan
motivasi yang benar. Dengan demikian, apapun yang kita lakukan, ke
manapun kita pergi, itu tidak akan menjadi masalah. Semua dilandasai motivasi
yang sama yaitu kalau bisa bantulah yang lain; kalau tidak bisa bantu yang
lain, janganlah merugikan mereka.
Terima kasih.
|